Kembar?? Aduh, jadi nyasar kan?! (Aku, Rana & Rani) 4

No Comments









PART IV


* * *


Jum'at Malam, Entah Pukul Berapa
Aku hampir bisa melupakan kejadian konyol sore tadi dengan cara menyibukkan diri menyiapkan desain pesanan langgananku, sampai saat ku lirik layar hp ku. Rani mengirim pesan, "Mas, telfon dong"
Singkat, tapi cukup membuatku penasaran. Tanpa pikir panjang langsung saja ku telfon Rani.



"Halo Ran" sapaku
"Iya halo" jawabnya singkat
"Ada apaan kok minta ditelfon?" tanyaku
"Ya gak ada apa-apa, emang gak boleh?" jawabnya
"Ya bukan gitu, kirain kan ada yang penting mau diomongin"
"Kalo ga ikhlas telfonnya matiin aja" ancamnya
"Ih ngambek, yaudah ngobrol senemunya aja deh" kataku, "oiya, kamu lagi ngapain?"


"Lagi tiduran" jawab Rani singkat


Begitulah sifat Rani, berbeda dengan Rana yang selalu blak-blakan dalam berbicara. Rani lebih pendiam, namun dalam setiap kalimat yang dia ucapkan pasti ada makna tersirat. Dia lebih suka menyindir daripada menegur bila aku tidak mengerti kemauannya, lebih terkesan manja mungkin.


Singkat cerita, ku hentikan pekerjaanku untuk sekedar ngobrol dengan Rani. Tidak terlalu penting untuk diceritakan, bahkan Rani tidak menyinggung kejadian tadi sore. Mungkin dia belum tau, pikirku.


Di akhir pembicaraan, dia hanya memastikan bahwa besok aku harus menepati janji mengajaknya dan Rana jalan-jalan.


"Yaudah, aku tidur dulu ya mas. Ngantuk" pamit Rani
"Oke sayang" jawabku
"Hehe.." Rani hanya tertawa lirih, tanpa memprotes panggilan sayangku padanya

"Udah dapet lampu ijo nih" sorakku dalam hati


* *


Sabtu Siang, Pukul 12.50

Siang itu aku tiba di sekolah Rana dan Rani 10 menit lebih awal dari waktu yang dijanjikan, ku parkir mobil pinjaman dari kakakku itu di tepi jalan tempat pertama kali bertemu Rani. Aku berpindah dari jok kemudi ke jok sebelah kiri, ku buka sedikit pintunya agar tidak pengap lalu ku nyalakan sebatang rokok.


10 menit berlalu, rokok yang ku hisap telah habis, dan ku putuskan untuk turun dari mobil. Sudah cukup ramai lalu lalang anak pulang sekolah, dan dari arah gerbang ku lihat Rana dan Rani berjalan bersandingan menuju ke arahku.
Ku lempar senyum ke arah mereka, dan mereka pun membalasnya dengan lambaian tangan sebagai ganti dari kata sapaan.


"Mau langsung jalan Ran?" tanyaku to the point
"Tanya ke siapa?" cibir mereka, "kalo nanya yang lengkap dong"
"Oke deh, Rana dulu. Mau langsung jalan?" tanyaku pada salah satu dari mereka yang mengenakan rok 10 cm di atas lutut, rambut terurai, dan gaya tomboy. Pasti dia Rana, pikirku.


"Kok diem?" protesku karena dia tidak menjawab
"Tanya Rani aja deh kalo gitu, mau langsung jalan?" tanyaku lagi pada cewek yang berdandan lebih feminim, dengan rok sedikit di bawah lutut, dan rambut diikat itu.


Lagi-lagi mereka tak menjawab, malah senyam senyum tak jelas maksudnya. Aku pun curiga, "kalian ngerjain aku?"


Tak ada jawaban, mereka justru tertawa sambil masing-masing menunjuk badge nama yang terpasang di seragam mereka.

"Siall" bathinku, "gua dikerjain nih"


Ternyata mereka sengaja mengecohku dengan gaya dandanan yang dibolak-balik, Rana jadi Rani, Rani jadi Rana.


"Lagian ga baca dulu, padahal ada namanya" ejek Rana
"Hehe.." sementara Rani hanya tersenyum manis


Singkat cerita aku ajak mereka naik mobilku untuk kuantar pulang sekedar mengganti baju, sepanjang perjalanan kami saling bercanda, saling mengejek, dan saling menggoda.


"Eh tapi yang waktu sore itu mah beneran aku sama Rana kan?" pancingku, "ntar malah ga taunya aku sama Rani"


Rana tak menjawab, justru Rani yang penasaran "emang waktu sore itu kalian ngapain?" Rani penasaran


Aku dan Rana tak menjawab, hanya saling pandang karena Rana duduk di depan, lalu tersenyum penuh arti.


"Emang Rani mau juga?" godaku
Rani malah terlihat kebingungan, kali ini justru Rana yang menimpali "apaan sih, rakus dasar!" sambil mencubit pahaku


Tak terasa kami sudah sampai di rumah mereka, Rana turun untuk membukakan gerbang dan memberikan kode agar aku memasukkan mobilku.
"Disini aja deh, biar ga ribet keluarnya" aku beralasan


Rani yang masih di mobil pun protes, "masukin aja mas, toh mamah juga udah tau kamu"


"Hehe.." aku pun hanya tersenyum salah tingkah


Begitu turun dari mobil, Rani menggandengku masuk sementara Rana sudah mendahului kami. Aku dipersilahkan duduk di ruang tamu, Rana sudah tidak terlihat mungkin sudah masuk kamar. Rani pun pamit ganti baju lalu menuju kamarnya yang mungkin ada di ruang tengah.


Tak berapa lama, Rana muncul dari ruang tengah dengan masih mengenakan seragam pramukanya bersama tante Ririn, mamahnya.


"Siang tante" aku coba menyapa tante Ririn yang siang itu hanya mengenakan kaos ketat warna putih dan celana pantai sedikit di atas lutut warna hijau muda. "Buset ni tante kayak ABG aja gayanya" bathinku


Wajah tante Ririn memang masih tampak muda, dengan kaos ketat pun tak nampak lemak yang bertumpuk di perutnya, payudaranya lebih besar dari milik Rana seolah menantang dibalik kaos ketatnya, bahkan bra warna merahnya pun tercetak jelas menerawang. Tapi sepertinya tante Ririn cuek saja meski disitu ada aku.


"Eh Rizky, udah lama?" tanya tante Ririn mengagetkanku
"Barusan aja tante, bareng sama Rana-Rani. Abis ini niatnya mau jalan-jalan" kataku agak tergagap menjelaskan
"Emang mau pada jalan kemana?" kata tante
"Rani mau beli buku mah, kalo aku sih senemunya aja nanti" potong Rana, "oiya, aku ganti baju dulu ya" pamit Rana
"Tante sih ikut seneng liat anak-anak seneng, yang penting hati-hati aja dijalan" tante Ririn menasehatiku


"Iya tante" jawabku singkat

Rani menghampiri kami, sudah siap pergi sepertinya, tinggal menunggu Rana.
"Tante ke belakang dulu ya, mau minum apa Ky?"
"Gak usah tante, ngerepotin" tolakku
"Enggak kok, kalo mau makan siang sekalian bareng anak-anak juga malah tante seneng" tawar tante Ririn


"Makasih tante, gak perlu repot-repot" kilahku
"Kita makan diluar aja nanti mah, sekalian refreshing gitu" timpal Rani
"Ya terserah sih, ya udah tante masuk dulu ya Ky" pamit tante Ririn

Cukup lama kami menunggu Rana, sampai Rani pun gelisah "Tu anak satu lama bener"


Tak berapa lama Rana berjalan ke arah kami, sambil menelfon sepertinya.
"Ya udah gua ikut, jemput di rumah aja ya biar kesananya barengan" kata Rana, "oke gua tunggu" lanjutnya lalu mematikan telfon

"Kenapa Ran?" tanyaku, pada Rana tentunya
"Itu temen telfon, katanya tadi pas pulang ada temen sekelas yang kecelakaan. Nah ini anak-anak mau jenguk sekalian, ke RS" kata Rana menjelaskan


"Nah trus gak jadi pergi sama kita kak?" tanya Rani
"Kayaknya enggak, gak enak sih temen sekelas mejanya sebelahan. Si Dian itu loh dek" jawab Rana, "kalo kalian mau pergi ya udah duluan aja" lanjutnya
"Oh Dian, ya udah deh kalo gitu" ujar Rani

Singkat cerita, aku dan Rani akhirnya hanya pergi berdua. Ada baiknya juga sih, jadi aku tidak perlu canggung pada Rana jika nanti aku ingin lebih dekat dengan Rani.


Kami menuju sebuah pusat perbelanjaan, Rani membeli sebuah novel, lalu kami makan berdua di sebuah restoran cepat saji.

"Abis ini pulang nih?" tanyaku membuka obrolan
"Iya lah, mau kemana lagi emang" jawab Rani cuek sambil melihat-lihat novel yang baru dibelinya


"Ya kemana gitu, aku masih betah sama kamu" aku sedikit merayu
"Alah gombal, ke Rana juga kamu bilang gitu kan?" selidiknya
"Enggak, basi lah kalo ke tiap cewek ngomongnya gitu semua" elak ku
"Oohh, berarti banyak dong cewek yang kamu gombalin?" Rani coba menyudutkanku


"Ya bukan gitu juga maksudku" jawabku, "eh bentar ada sms" lanjutku
Ternyata dari temanku, saking tergesanya aku menjemput Rana dan Rani sampai lupa kalau ada pesanan yang harus dikirim.


"Aku mesti pulang nih, urusan kerjaan ditunggu temen" kataku
"Ya udah yuk pulang" jawab Rani santai, "ke rumahmu dulu deh kan lumayan deket kalo dari sini"


Kalimat terakhir itu membuatku ingin bersorak, "dapet jalan juga" bathinku

Selesai membayar kami pun bergegas menuju rumahku, memang jika dari sini lebih dekat jarak ke rumahku daripada ke rumah Rani.


Sampai di depan rumahku tampak Evan sudah ada di teras rumah.
"Parah lu sob, udah sore nih bisa kena complain kita" kata Evan kesal
"Sory bro, lupa beneran gua" jawabku yang baru turun dari mobil
"Ambil dah, sini biar gua yang anter" kata Evan


"Bentar gua ambil" jawabku sambil membuka kunci rumah hendak mengambil barang yang akan diantar.


Saat aku masuk rumah, ternyata Rani ikut turun dari mobil. Evan pun melihatnya, aku tak tau pasti seperti apa reaksi mereka tapi saat aku keluar Evan langsung nyerocos.


"Pantes aja lu lupa kerjaan sob" katanya, "gua tinggal ya, ati-ati Rizky suka gigit loh Ran"
"Sialan lu" umpatku kesal
Rani hanya tersenyum melihat tingkah temanku itu.

"Mau masuk dulu Ran?" ajakku, "nanggung nih udah nyampe sini masa ga masuk"
"Boleh" jawab Rani singkat


Aku pun kembali menutup pintu ruang tamu, Rani kebingungan "Nawarin masuk tapi pintunya malah dikunci, gimana sih"
"Itu ruang tamu Ran, isinya malah dagangan semua" aku menjelaskan, "masuknya lewat sini aja" kataku sambil membuka pintu kamarku

Aku mempersilahkan Rani masuk, agak canggung sepertinya saat dia tau kalau ruangan ini adalah kamarku.
"Di kamarku ga ada sofa Ran, serba lesehan" kataku
"Ga masalah sih, malahan simpel gini" jawab Rani
"Duduk sini Ran, aku ke belakang dulu"


Aku pun pergi ke dapur lewat pintu tembusan ruang tengah, membuatkannya sirup dan mengambil beberapa cemilan. Saat aku kembali ke kamarku Rani sedang duduk di spring bed ku, tampak mengamati seisi kamarku.


"Liatin apa sih?" tanyaku mengagetkannya
"Eh..enggak, kamarnya enak ya" jawabnya sedikit kaget
"Nih diminum" kataku sambil meletakan nampan di atas karpet.
"Kamu tinggal sendiri mas?" tanya Rani
"Iya, sendiri makannya aku mending nempatin kamar depan ini" jawabku
"Tapi enak sih, nyaman gitu, sama warna birunya juga nambah adem. Cuma kurang rapih" kritik Rani
"Ya maklum bujangan" alasanku


Rani mengambil gelas minumannya, badannya yang condong kedepan membuatku yang duduk di karpet bisa melihat belahan payudara Rani dari kerah longgarnya. Memang benar kata orang, yang mengintip itu justru yang menantang.


"Ngeliatin apa sih?" tanya Rani
"Ngeliatin kamu" jawabku sambil tersenyum
"Ngeliatin aku kok ampe segitunya" kata Rani
"Abisnya mulus" spontan saja
"Mulus apanya?" Rani kaget
"Ehh itu.." aku tergagap
"Alah mesum pasti kamu" tuduh Rani
Aku cuma bisa salah tingkah.

Kami sama-sama diam, aku takut Rani marah padaku. Ku beranikan diri menyentuh tangannya, dia diam saja.
"Kamu marah Ran?" tanyaku
"Enggak lah, masa gitu doang marah" jawabnya
"Kalo lebih dari itu, kamu masih ga marah juga?" pancingku
"Maksudnya?" Rani bingung, tatapannya tajam ke arahku


Aku balas pertanyaan itu dengan senyum, ku beranikan diri berpindah posisi ke sebelahnya. Tanganku masih menggenggam tangannya, Rani masih tampak bingung.


"Aku ga mau bilang kamu cantik" kataku
Wajah Rani yang tadinya tegang berubah, kini dia tertawa renyah.
"Aku juga ga mau gombalin kamu" lanjutku
"Terus, kamu mau apa dong?" tanya Rani
"Mau kamu" jawabku sambil ku tatap dalam-dalan matanya


Tak terkontrol, wajahku mendekat ke wajahnya. Ku kecup keningnya, mencoba meyakinkan bahwa saat ini hanya dia yang ku inginkan. Berbeda dengan Rana yang tegang di awal, justru Rani lebih tenang.


Tanganku yang tadi menggenggam tangannya kini ganti membelai rambutnya, ku usap pipi mulusnya. Sebelah tangannya memegang tanganku, tapi tidak berusaha menahan.


Rani memejamkan mata, tanda tak ada penolakan. Ku kecup bibirnya, dia menerinanya masih tanpa penolakan. Lanjut ku pagut bibirnya, ku kulum bibir bawahnya. Rani membuka mulutnya, memudahkanku menikmati bibir tipisnya. Kini Rani mulai membalas permainan lidahku, tak ku sangka meski pendiam tapi dalam bercumbu dia lebih agresif dari Rana.


Tanpa perlu di komando, tanganku mulai bergerilya. Tanganku mendekap tubuh Rani erat, lalu menelusup ke balik bajunya, ku usap lembut punggung Rani.


Terasa halus kulit punggungnya, tanganku terus naik sampai menyentuh pengait bra-nya. Kami masih saling cumbu saat tanganku perlahan melepaskan pengait bra itu, Rani hanya sedikit menggeliat tapi tak berusaha menolak.


Aku hampir kehabisan nafas, ku lepaskan pagutanku. Kemudian berpindah mengecup dan menjilat leher serta dadanya, tangan Rani mulai mengacak-acak rambutku. Tanganku mencari menggenggam ujung bawah baju Rani, tanpa meminta persetujuannya ku tarik saja keatas agar baju itu terlepas.


Sejenak ku lihat wajah Rani tampak sangat menggairahkan, matanya sayu, bibirnya sedikit terbuka, rambut yang sudah tak beraturan, tangannya pun terkulai lemas seolah tak bertenaga.


Ku pagut lagi bibirnya, sambil tangan kananku meremas payudara kenyalnya.
Tangan kiriku menggenggam tangan kanannya, mengarahkannya ke pinggangku. Seolah terhipnotis, Rani kini bertindak lebih agresif. Meski pelan ku rasakan sedikit tarikan di ujung kaosku.


Aku yang mengerti maksudnya berusaha merenggangkan dekapan tubuh kami, sambil sesekali masih mengecup lembut bibirnya. Dengan terburu-buru Rani berusaha menarik lepas kaosku, tak mau kalah tanganku pun berusaha melepaskan ikatan tali pinggang di jogger pants
warna pink yang Rani pakai.


Kaosku sudah terlepas, kini giliranku menarik lepas celana Rani. Ku tarik agak keras, hingga secara otomatis tubuh Rani yang masih dalam posisi duduk itu terhempas ke atas spring bed. Setelah terlepas, ku posisikan agar paha mulusnya juga berada di atas spring bed.

Aku merangkak di atas tubuhnya, ku pandang setiap lekuk indah tubuh mulusnya yang kini hanya tinggal tertutupi CD saja. Rani tampak pasrah saat ku kecup keningnya, tangan kiri ku gunakan sebagai penyangga, sementara tangan kanan ku memainkan puting merah muda yang mulai mengeras itu. Rani melenguh saat ku pelintir putingnya, "ouuhhh..."

Nafsuku semakin menghebu saat ku lihat ekspresinya yang begitu menggairahkan, tak ada lagi rasa malu seperti Rani yang biasanya. 


Dia memang tetap pendiam, tapi tidak dengan tubuhnya yang tak berhenti menggeliat saat mulai ku mainkan lidahku di antara belahan payudaranya. Permainan lidahku terus naik, sampai ke bagian dagunya, ku kecup sekali lagi bibirnya. Meski sangat bernafsu, aku berusaha memainkan tempo selembut mungkin agar dia merasa nyaman.

Sejenak ku pandang dua buah gundukan daging yang mengacung ke atas, dengan puting yang sudah mengeras, seolah menantang untuk segera di libas.

Ku lumat habis kedua payudara Rani bergantian, ku hisap putingnya dalam-dalam, Rani hanya menggeliat kegelian sambil menggigit bibir bawahnya. Aku lanjutkan permainanku ke tahap selanjutnya, aku perlahan mundur bersimpuh di karpet tepat di tengah kedua paha mulus Rani.


Rani menatapku seperti penasaran dengan apa yang akan aku lakukan. Ku usap lembut paha mulusnya, sedikit ku rentangkan, dan mulai ku kecup bagian paha dalamnya bergantian.


Ku hentikan rangsanganku. Berdiri lalu menarik tangan Rani agar dia yang membuka celanaku, "Bukain dong" pintaku
Jujur aku penasaran, se-agresif apa dia, atau jangan-jangan dia sudah terbiasa melakukan seks.


Sambil duduk, Rani membuka celanaku, perlahan menariknya ke bawah lalu melepaskannya. Aku masih berdiri di hadapannya, dia memandang ke arahku seolah menunggu instruksi selanjutnya. Aku diam saja, hanya tanganku yang membelai rambutnya. Rani meneruskan tugasnya, kali ini CD ku yang ditariknya lepas.


Kini penisku mengacung keras tepat di depan wajah Rani, belum ada reaksi, dia masih sebatas menatapnya saja. Sepertinya Rani masih agak ragu.


Aku membungkuk untuk mencium bibirnya, ku dorong tubuhnya agar telentang di atas spring bed. Ku cumbu dia habis-habisan, saling tindih, saling raba, saling kecup, bahkan aku sudah mulai menggesekkan penisku ke vaginanya meski masih terhalang CD yang masih menutupi selakangan Rani.


Ku ambil posisi 69 menyamping, ku angkat sebelah paha Rani, ku kecup bibir vaginanya, coba ku kuak dengan jariku. Terlihat segar, dengan lubang yang mungkin hanya sebesar ujung jari kelingkingku, membuatku semakin bernafsu. Ku lumat habis vaginanya, Rani pun memekik "Akhh... ouhhhh..."


Sementara penisku masih belum mendapatkan servis apa-apa, vagina Rani justru sudah mendapat serangan bertubi-tubi dari lidah, bibir, dan jariku. Ku hisap klitorisnya, ku gigit kecil dengan bibirku, ku mainkan dengan lidahku hingga Rani pun menggelijang.


Tangannya kini menggenggam penisku, perlahan mulai mengelus dan mengurutnya. Ku hentikan aktifitasku, berusaha menikmati rangsangan dibawah sana. Rani semakin berani, dia mulai memainkan lidahnya di kepala penisku. Mulai menjilat dari pangkal hingga ujungnya.


Kembali ku mainkan klitoris Rani, mencoba membuatnya semakin terangsang.
Benar saja, sekarang Rani sudah memasukkan kepala penisku ke dalan mulutnya, perlahan tapi pasti hisapan dan permainan lidahnya di dalam sana benar-benar membuatku ngilu. Rani mulai memaju mundurkan kepalanya, penisku dicengkeram erat oleh bibirnya. Aku tak mau kalah, ku mainkan lidahku menusuk-nusuk lubang vagina Rani.


Tak sampai lima menit, Rani melenguh "Akhhh... sshhhh aku ga kuatttt...."
Rani mencapai orgasme pertamanya, targetku sudah terpenuhi. Untung aku belum keluar, konsentrasiku ku pusatkan untuk membuat Rani orgasme jadi tidak terlalu menikmati servis Rani.


Nafas Rani sudah agak teratur saat ku posisikan diriku berbaring di sebelahnya. Ku peluk dia dari samping, ku mainkan lidahku di atas payudaranya. Rani merespon, tangannya menarik tubuhku agar naik ke atas tubuhnya. Aku pun menindih tubuhnya, ku cumbu dia dibarengi dengan belaian lembut di sekitar leher dan dadanya.


Sementara dibawah sana, penisku yang sudah menuntut pelampiasan ku posisikan agar berada tepat di belahan vagina Rani. Reflek, pinggul Rani pun menggeliat seolah mencari posisi yang pas agar penisku itu bisa mulai menusuk vaginanya.


Aku menggesekkan penisku ke vaginanya, tapi tangan Rani justru menahan pinggulku. Saat aku berhenti, tangannya itu langsung menggenggam penisku dan mengarahkannya ke posisi yang pas. Kedua kakinya sudah mengunci pinggangku kali ini.


Perlahan mulai ku tekan penisku, dan meleset. Rani membantu lagi, ku tekan lagi, dan kali ini sepertinya tepat sasaran. Dahi Rani mengerenyit, tampak keringat membasahi wajahnya. Dia memejamkan mata, bibirnya sedikit terbuka. Dan saat ku tekan masuk penisku lebih dalam,
"Akkhhh... sakit masshhh.. uhhhh.." pekik Rani, "yang pelan"


Penisku belum masuk sepenuhnya, tapi Rani sudah kesakitan dan penisku pun rasanya dicengkeram erat di bawah sana. Ku coba menarik penisku, tangan rani kini memegang lenganku. Perlahan ku tekan lagi, ku tarik lagi, begitu terus sampai vagina Rani mulai menyesuaikan diri. Penisku terasa hangat dan basah di dalam sana, ku rasa sudah cukup penyesuaiannya.


Ku tekan agak kuat penisku, "Aww.. akhhhh.... " pekik Rani
Tangannya mencengkeram lenganku, bibirnya agak memucat, keringat mengucur deras, aku melirik ke bawah sana.


"Aataga! Ternyata gua udah jebol keperawanan Rani" bathinku kaget saat ku lihat di penisku terlihat ada darah segar, darah keperawanan Rani.


Dari bentuk lubang vagina dan cengkeraman eratnya memang terasa kalau dia masih perawan, begitu juga dengan sulitnya penisku masuk sepenuhnya.
Tapi ku kira dengan sikap agresif, respon, serta mahir permainannya dalam mengimbangiku sepertinya Rani sudah cukup berpengalaman. Lalu darimana dia belajar? Aku penasaran dibuatnya, entahlah.


Yang pasti sekarang kami masih sama-sama diam, aku membiarkan penisku terbenam sementara Rani menunggu rasa sakitnya hilang.


Untuk meningkatkan kembali gairah Rani, ku pagut bibirnya. Rani membalasnya dengan lembut, sambil tangannya mengelus punggungku. Pinggul Rani sudah mulai menggeliat, pertanda vaginanya sudah mulai beradaptasi.
Baru saja aku akan mulai menggenjot vagina Rani, kami dikagetkan oleh orang yang mengetuk pintu kamarku.
"Tok tok tok!"


"Mas, dek, bukain dulu sih aku mau masuk diluar banyak nyamuk nih" suara itu begitu jelas, suara yang kami kenal


Aku dan Rani saling pandang dengan ekspresi kaget dan panik. Kami mematung untuk sesaat...


* * *

Related Posts:

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p