Permisi, ijinkan nubi yang hina dina ini untuk memposting cerita nubi. Mungkin temanya bukan populer, dan ini pertama kalinya nubi posting disini. Mohon jangan didan segala kritik nubi terima dengan lapang dada. Mungkin juga kalau banyak respon, nubi berniat buat lanjutannya. Tapi yang penting, segala komentar akan membuat nubi makin semangat. Akhir kata, selamat menikmati.
============================Aku terngaga, seakan tak mempercayai ini semua. Mimpi apa aku semalam, sehingga beruntung menempati rumah besar ini selama seminggu penuh, plus fasilitas yang menyertainya. Aku menyasar pandangan ke seluruh ruangan. Gila, ini sih istana! Hall utamanya saja sebesar dan seluas rumahku, lengkap dengan segala furnitur macamnya sofa, sound system berikut televisi layar datar super besar, permadani yang menghampar luas, dan... dan... ah, ini terlalu menakjubkan.
“Udah bengongnya? Sekarang gue kasih tau apa-apa aja yang penting, dengerin yang bener!”
Gadis cerewet di depanku ini bernama Shia. Anak konglomerat, cantik, langsing, seksi, modis. Yah, tipikal puteri-puteri di cerita-cerita teenlit, sempurna. Dia adalah, emm... teman? Lebih dari itu. Sahabat? Kurang tepat. Apa ya? Pokoknya kami sudah saling mengenal selama lima tahun, tepatnya sejak kelas dua SMP. Bahkan sampai sama-sama lulus SMA dan sekarang, kami masih akrab. Oh iya, dia ini tidak sombong sama sekali. Anaknya supel, gaul bingit, rajin menabung, doyan dugem, dan suka gonta-ganti pacar.
Oke, cukup memuji-muji cewek ini.
Oh iya, namaku Olin. Gadis yang biasa-biasa saja, berasal dari keluarga yang biasa, punya pacar yang juga sama biasanya, menjalani kehidupan yang biasa, dan punya cita-cita yang juga biasa. Hanya ada dua hal yang luar biasa di hidupku: sepasang payudara kelewat besar yang membusung tegak; dan kenal dengan cewek super kaya yang menurutku aneh ini.
“Dengerin gue ngomong ga sih, Lin?”
Ah, aku tersentak. Terlalu banyak basa-basi, jadi aku tak menanggapi apa saja yang Shia terangkan tadi. Tapi aku masih tahu garis besarnya, kok! Pokoknya, dia ini mau titip rumah maha besarnya ini ke aku, sementara dia menyusul keluarganya berlibur di London. Dasar orang kaya, liburannya mereka itu mungkin di luar Indonesia. Untukku, menempati rumah ini adalah liburan itu sendiri.
“Eh, eh. Terus gue disini sama siapa dong, Shi? Masa sendiri? Gue ga mau kalo sendiri, entar kalo ada rampok gimana? Terus gue kalo diperkosa gimana? Terus, terus, kalo gue di iket, dipake sepuasnya gimana? Terus nih ya, nanti kalo udah bosen, bisa-bisa gue di—“
“Bawel!” potong Shia. Aku selalu takut jika ia sudah membentak begini. “Pertama, lo ga sendiri disini. Ada mba Dita yang nemenin. Kedua, security dua puluh empat jam siaga, jadi ga usah takut kemalingan. Ketiga, gue ga yakin kalo lo diperkosa. Yang ada lo malah yang merkosa itu satpam-satpam di depan nanti,” lanjutnya.
Aku manggut-manggut tanda mengerti. Biar bagaimanapun juga, aku harus memastikan segala hal. Eh, tunggu. Siapa yang perkosa siapa?!
“Oh iya, ikut gue yuk. Gue bakal kangen nih seminggu ga ada lo.”
Shia menaiki anak tangga menuju lantai dua, dan aku mengekor di belakangnya. Aku bisa melihat pantatnya yang bergoyang ke kiri dan kanan tiap kali ia menjejak tangga. Uuuh, melihatnya secara close up begini makin membuatku iri. Oh iya, kalian akan tahu sendiri mengapa aku tidak mengklasifikasikannya dalam teman atau sahabat, nanti. Sementara, simak saja dulu.
Shia membuka kamar luasnya, tempat aku biasa menginap. Yippie, untuk seminggu ke depan aku akan menempati kamar ini! Lihat ranjang king size itu, begitu nyaman, memanggil-manggilku untuk segera merebahkan diri di atasnya. Oh, dan sofa itu juga kelihatan nyaman. Ah, meja rias lengkap dengan deretan kosmetik mahalnya. Dan boneka teddy! Halo, apa kabar kamu? FYI, boneka ini besarnya seukuranku, pasti nyaman untuk dipeluk. Ah, semua barang-barang lucu ini akan menjadi milikku, me-meski hanya seminggu.
“Lin, ayo mulai cepet. Gue udah mau berangkat, nih.”
Aku kembali tersentak. Agak menggerutu, aku mengangguk kepada Shia. Lalu, aku mulai membuka celana pendekku,, menyisakan celana dalam tipe thong yang kupakai. Agak kinky ya? Ah, nanti kalian akan tahu alasannya.
Aku merebahkan diri di ranjang empuk ini, lalu mengangkang selebar mungkin. Ah, bibir vaginaku menyembul keluar lewat samping celana dalam. Aku mulai mengusap-usap permukaan vaginaku dari luar, mencari-cari titik-titik nikmat yang akan membuatku hanyut dalam rangsangan. Serius, aku sudah tak malu lagi melakukan ini.
“Shi, baju gue gimana? Gue kan kesini ga bawa apa-apa,” ujarku, seraya terus mengusap vaginaku sendiri. Mulai basah, yeay! “Lagi... mmph..., lo ga bilang kalo gue suruh jaga rumah,” lanjutku. Kini, aku mulai menekan-nekan vaginaku, tepatnya di bagian dimana ada sebentuk daging kecil mirip kacang yang bersembunyi di lipatan bibir vagina.
Shia kini mengambil posisi duduk di sofa, seraya tersenyum misterius memandangiku bermasturbasi. “Lo bisa pake baju gue, tuh. Banyak ini, kan. Jangan kayak orang susah deh, Lin,” jawab Shia. “Ini thong merah yang gue beliin itu kan? Cocok juga, seksi Lin,” tambahnya.
Aku yang semakin terangsang atas apa yang kulakukan, kini makin berani. Aku menyibak celana dalam ke samping, memamerkan vagina merah merekah pada Shia. Lalu tangan satunya kugunakan untuk memainkan bibir vaginaku, kadang menekan-nekan klitorisnya, atau meratakan cairan pelumasku ke seluruh permukaan vaginaku sendiri. Hal ini, membuat mata Shia berbinar-binar. Ia memang suka melihatku bermasturbasi.
“Lin, masukin satu jari,” ujarnya lirih. Aku yang tak punya pilihan lain, segera saja memposisikan telunjukku di antara bibir vagina. Dalam sekali dorongan, pelan-pelan telunjuk ini masuk ke liang vaginaku. Mulanya hanya satu ruas, semakin dalam... makin dalam... hingga seluruh telunjukku tertelan di vaginaku sendiri. Rasanya? Jangan tanya. Nikmatnya sanggup membawaku ke awang-awang. Oooh, aku terbakar birahi!
“Enak Lin?” tanyanya, yang langsung kujawab dengan anggukan. Pertanyaan bodoh.
Kini aku mulai menggerakkan telunjuk maju-mundur, seirama dengan goyangan pinggulku. Rasanya nikmat, ketika telunjuk ini menyentuh dinding vaginaku, tempat saraf-saraf sensitif itu berkumpul. Aku tak bisa menahan desah, lagipula kenapa harus ditahan. Keluarkan saja lepas, selayaknya pelacur murahan.
“Aduh, Shi... ini... aahh... ahh... enak banget, sumpah! Kenapa sih kalo ngocok me... meki itu sampe seenak ini... mmmhhh,” desahku, disertai kerlingan nakal pada Shia. Aku bisa melihat dari gestur-nya yang semakin gelisah, Shia menikmati pemandangan ini. Ayo, sedikit tingkah binal lagi dan ia akan masuk ke jeratku.
Aku tak puas hanya dengan satu jari, kini mulai memasukkan jari tengah untuk menyusul sang telunjuk agar tak berjuang sendirian. Kini, dua jari terbenam di vaginaku, bergerak bergantian bagai sedang mengayuh sepeda. Pinggulku naik turun ikuti irama, dan tangan satunya kugunakan untuk merangsang klitorisku. Memilin ‘kacang’ itu, ditekan-tekan, digesek-gesek dengan intensitas cepat. Ah, aku mulai gila. Desahan kini berubah jadi erangan, tepat di depan Shia.
“Shi... Shi... lo... lo... aahh aahh aahh i-iyahhh... mesti liat dari... aahhnnn... dari dekeeettt!”
Hihi, Shia menuruti rayuanku. Seraya menggigit bibir, ia mendekatiku. Wajahnya kini hanya beberapa puluh senti dari vaginaku, melotot kala melihat jemari-jemari lincah seorang Olin yang sedang mengaduk vaginanya sendiri. Cairan pelumasku meleleh dari celah liang, mengalir turun sampai ke lubang pantat. Oh ya ampun, ini nikmat sekali. Aku sampai merem-melek saking tak kuatnya menahan siksa nikmat ini.
“Aaahhnn.... Shiaaa~” rajukku, manja. Dan...
“OLIIIIIINNNNN!!!”
Shia menerjang vaginaku. Ia langsung menyingkirkan kedua tanganku, berganti dengan bibirnya yang melumat habis bibir vaginaku. Ia menyedot-nyedot, seraya menjulurkan lidah menyapu seluruh permukaan kemaluan ini. Sesekali, lidahnya merangsek masuk jilati dinding vaginaku dengan liar. Aku semakin gila, menjambak rambutnya serta membenamkan wajahnya di antara kedua paha. Lalu menjepit kepalanya, sehingga ia makin liar mengerjai vaginaku.
“Aaahh oohh iyaahh... iyaahh.. Shi.. Shia.. Shiaaa... itu enak banget.... aaahhnnn sayaaaang...!”
Shia bersusah payah melepaskan diri dari jepitan pahaku, lalu dengan cepat menghisap klitoris ini. Aduh, itu-enak-banget-sumpah! Tak cukup, ia membenamkan dua jari sekaligus lalu mengocok liang vaginaku dengan cepat. Sementara tangan satunya meremas-remas pantatku, seraya terus bergeser ke tengah... ke... ke...
Jangan-jangan...
“Hyaaaa~!” teriakku, bertepatan ketika Shia menekan-nekan telunjuknya di lubang pantatku. Itu salah satu titik sensitif selain klitoris dan puting payudaraku, dan jika dirangsang maka hasilnya akan...
“Shia! Shia! Jangan... aahh aahh di-disitu... hyaaannn!! Gue... gue... ma-mau... aahhh aahh aahhh~”
Tapi bukan Shia namanya kalau tidak ngeyel. Dia malah mengoleskan cairan pelumasku ke lubang pantat, lalu perlahan membenamkan telunjuk ke dalam sana. Ah, sensasinya tak bisa ku ungkapkan. Klitorisku, vagina, dan lubang pantatku di rangsang secara bersamaan. Hal ini benar-benar membuatku gila! Terlebih ketika Shia berhasil membenamkan telunjuknya, lalu membuat gerakan maju mundur menghajar lubang pantatku. Ini... ini... luar biasa!
Oh iya, ada yang kurang. Toket!
Aku tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Segera aku menyingkap kaus yang kupakai, menarik bra ke atas sehingga dua bongkah payudara masif ini bisa bebas terekspos. Tak ingin buang waktu, aku segera meremas-remas kedua daging kenyal ini, bahkan kumainkan putingnya dengan liar. Apapun, agar rangsangan yang kuterima semakin hebat. I’m totally blank, aku bahkan tak sanggup berpikir jernih. Apalagi ketika...
“Aaaaakkk.... gilaaaaaa....! Shi... Shi... gue.. gue... gue mau... aaahh aahhh aaahh aahh oohh yaa yaa yaa... Shiaaaaa....!”
Gila! Shia mengaduk-aduk liang vaginaku, tepat di G-Spotnya! Jemarinya keluar... masuk... ditambah jilatan dan hisapan pada klitorisku, lalu... lalu... lubang pantatku, dan... dan... ah, ini terlalu luar biasa! Aku... aku...
“SHIAAAAAAAAA~!!”
Cairan bening dan lengket seketika menyembur keluar dengan deras dari lubang kencingku. Semburannya mengenai wajah Shia, dan dia malah asyik memejamkan mata menikmati semburan-semburan selanjutnya. Pinggulku terangkat naik secara maksimal, aku mengangkang sembari kedua kakiku berjinjit. Tubuhku tegang, setegang remasan keras di kedua payudaraku. Aku orgasme, dengan cara yang luar biasa. I’m squirting!
Semburan itu baru berhenti saat semburan kecil ke sembilan yang bercipratan di ranjang dan lantai. Bersamaan dengan tubuhku yang melemas, aku kembali merebah pasrah di atas ranjang, mengangkang selebar-lebarnya. Shia tersenyum geli melihatku, kemudian menjilati bibirnya sendiri. Dia juga menjilati kedua jari yang digunakannya untuk mengaduk-aduk vaginaku.
“Puas, Lin?” tanyanya. Aku hanya bisa mengangguk, disela nafas yang menderu kencang.
Shia naik ke atas ranjang, menindih tubuhku. Kami saling bertatap muka dari dekat, seraya dia mengusap peluh di keningku. Kemudian, penuh perasaan, Shia mengecup kening ini. Lalu beranjak turun ke hidung, turun lagi mengecup bibirku. Turun ke dagu, lalu naik lagi dan mengecup lama di bibir ini. Bibirku membuka, membiarkan bibirnya menempati celah antara kedua bibirku. Ia melumat bibirku, pelan namun penuh penghayatan yang kubalas dengan perlakuan serupa. Kami berpagutan, dari yang tadinya mesra menjurus ke panas. Lidah kami saling membelit, saling menghisap, menari-nari diantara pagutan bibir kami. Terakhir, ia memberikan liurnya, dan dengan senang hati aku membuka bibir, menerima liur Shia.
“Enak ga tadi? Jangan kangen sama gue ya, Lin. Maaf banget harus ninggalin lo selama seminggu,” ujarnya, lirih.
Shia kembali mengecup bibirku, lalu bangun dan mengajakku ikut serta. Aku memeluknya dan dibalas dengan pelukan serupa. Erat dan lama. Sampai akhirnya dia melepaskan pelukannya dariku, lalu mengambil tas yang diletakkan di sofa.
“From now on till next Monday, the home and all that includes within it, is yours. Catch ya’ later, hunny~!”
Sosoknya menghilang saat ia berlalu keluar kamar. Meninggalkanku sendiri di rumah mewah ini. Aku merebah lemas di atas ranjang, berusaha mengatur nafas yang mulai tenang. Oh iya, jika kalian penasaran tentang hubungan kami, maka kalian tahu sekarang alasannya aku tak bisa mengklasifikasikannya sebagai teman atau sahabat. Kami lebih dari itu. Oh, atau, Shia menganggap hubungan kami lebih dari sekedar sahabat.
Shia adalah seorang biseks, dan sebagai penyuka sesama jenis dia dikategorikan sebagai andro. Jadi dia lebih prefer untuk puasin aku daripada mentingin kepuasan dia sendiri. Sedangkan aku? Yah, yunowlah. Gadis biasa-biasa saja sepertiku harus melakukan apapun agar bisa mempertahankan satu hal yang luar biasa. Melakukan apapun, mengorbankan apapun. Termasuk badan, tentunya.
Aku tersenyum puas, lalu tertawa sekeras-kerasnya. Dunia tak pernah selucu ini, ketika kamu berpikir bahwa dunia hanya di isi oleh hal-hal kejam. Yang harus jadi pertanyaan adalah: apa dunia yang benar-benar kejam, atau kamu yang terlalu lemah dan bodoh sehingga tak tahu bagaimana harus mencari celah?
Well, whatever. Satu minggu dari sekarang, aku adalah orang kaya. Let us have some fun, shall we?
source: GeOl.biz