Hamili istriku 3

No Comments


Hamili istriku 3

 

 Cerita Seks Hamili istriku 3 - sukabugil.xyz

“Dari siapa?” aku bertanya ketika Donna siang itu menerima telepon. Nadanya terdengar mencurigakan, dia hanya ‘ya, ya’ saja dan mengangguk-angguk tanpa berkata apa-apa. Lalu dia tersenyum padaku.
“Sepertinya kamu beruntung,” bisiknya.
“Beruntung apa?” aku berjalan mendekat dan memeluknya, tanganku segera bergeser menuju bongkahan payudaranya yang terlihat mau tumpah. Dengan baju tipis seperti itu, Donna terlihat menggairahkan sekali.
“Dimas meminta kita datang nanti malam, Dhini ternyata belum hamil.”
“Jadi, aku gagal?” tanyaku sambil meremas-remas ringan.
“Suaramu memang terdengar kecewa,” Donna tersenyum. “Tapi seringai di bibirmu tak bisa disembunyikan.”

“Ah, kelihatan ya,” aku tersipu malu, dan menciumnya. “Maaf, bukan maksudku...”
“Nggak apa-apa,” Donna menarik tanganku yang berusaha menelusup ke balik bajunya. “Sebaiknya kita bersiap-siap, hari sudah sore.”
Aku mengangguk, dan segera mengikutinya menuju ke kamar untuk berganti baju. Sebenarnya ngaceng juga melihat Donna yang telanjang di depanku, tapi apa mau dikata, aku harus menghemat sperma untuk Dhini Aminarti. Donna yang melihat penisku sudah mengacung keras, tertawa dan meremasnya perlahan.
“Sudah tak sabar ya?” ucapnya lirih. “Ingat, ini hanya agar Dhini bisa hamil,” ancamnya
Aku memeluknya dan membisikkan kata cinta di telinganya, “Pasti. Hanya nafsu yang kugunakan di sini. Kalau cintaku tetap untukmu, sayang.”
Donna tersenyum dan memilihkan baju untukku. Selama aku memakainya, Donna pergi ke luar untuk menitipkan anak-anak kepada babysitter. Lalu kemudian, setelah semua beres, bersama-sama kami pergi ke rumah Dimas yang berada tepat di sebelah kiri.
Sambil bergandengan tangan, aku diliputi oleh kegembiraan yang penuh semangat, tapi kuusahakan menyembunyikannya sebaik mungkin agar Donna tidak sampai tahu. Bayangan dapat merasakan kembali tubuh mulus Dhini membuat penisku ngaceng sedari tadi, sama sekali tidak mau turun meski aku sudah mengguyurnya dengan air dingin di kamar mandi.
Pagar rumah Dimas tidak terkunci, kami segera masuk dan berjalan menuju pintu depan. Lampu teras menyala redup, menyinari taman serta bagian depan garasi yang nampak tertutup rapat. Donna mengetuk beberapa kali, dan Dimas langsung keluar menyambut kami.
“Eh, mari silakan. Ayo masuk,” dia membuka pintu lebar-lebar dan mundur ke belakang, memberi kami kesempatan untuk lewat.
Aku menoleh ke sekeliling, mencari keberadaan Dhini, tapi dia tak kutemukan. Hanya alunan musik dari satu set stereo yang berada di ruang tengah terdengar mengalun pelan, menyulap aura jengah di antara kami menjadi sedikit nyaman. Dimas mengajakku untuk langsung menuju kamar, rupanya Dhini sudah menunggu di sana.
“Hai, mbak. Apa kabar?” sapanya pada Donna begitu kami masuk. Kedua perempuan itu berpelukan dan saling mencium pipi. Bisa kulihat kalau Dhini sebenarnya juga salah tingkah.
“Ayo,” Dimas menyuruhku agar mendekat.
Dhini menunduk saat aku muncul, dia mundur ke belakang suaminya. Perasaan malu-malunya tetap ia pertahankan, sama seperti diriku yang sedikit deg-degan. Donna mencium pipiku dan berbisik, “Kutunggu di luar.”
Dimas mengangguk, dan bersama dengan istriku, dia melangkah mundur. Kulihat, Dimas tidak menjabat tanganku malam ini, tapi dia membuat gerakan isyarat canggung ke arah ranjang agar aku segera bekerja menghamili istrinya, sebelum kemudian berbalik dan berjalan mengikuti Donna menuju ruang tamu.
Aku menutup pintu dan menguncinya, tapi tanganku berhenti di pegangannya. Aku diam di sana untuk  beberapa saat. Dhini duduk di sisi tempat tidur, dan dia berpaling melihatku. Senyumnya nampak kaku, tapi bisa kulihat kalau dia juga menyimpan rasa rindu yang sama.
"Terima kasih sudah mau datang," ucapnya lirih sambil menatapku.
Malam itu dia mengenakan gaun tidur merah yang diikat di pinggang, cukup pendek hingga memperlihatkan sebagian kulit pahanya saat ia duduk di sisi tempat tidur. Rambut hitamnya yang halus nampak berkilau, bergerai ringan di bahunya seolah-olah Dhini baru menyisirnya beberapa saat lalu, dan bibirnya nampak mengkilap. Wangi parfum menguar lembut di seluruh kamar, menunjukkan kalau dia sudah mempersiapkan diri untuk menerima kunjunganku.
"Iya," aku menjawab. "Terima kasih sudah mau mengundangku lagi,”
"Masih ada tiga kali lagi kalau aku masih belum hamil,” Dia tersenyum.
Sikap dan kata-katanya perlahan membuat rasa percayadiriku tumbuh. “Kamu lebih suka langsung hamil, atau nunggu yang ke lima?” tanyaku menggoda.
Dia tersipu, kemudian menjawab, "Hamil juga nggak apa-apa, tapi tetap boleh menikmati yang ke lima.”
“Tidak ada pilihan itu,” aku tersenyum dan duduk di dekatnya, memandangi wajah cantiknya tanpa pernah merasa bosan. “Bagaimana dengan Donna dan Dimas?”
“Mereka tidak perlu tahu apa yang terjadi di ruangan ini. Apapun yang terjadi. Ini akan menghancurkan pernikahan kita dan juga persahabatan kita jika mereka sampai tahu. Kita melanggar banyak aturan Donna bulan kemarin."
Aku tahu dia sepenuhnya benar, dan memang itulah yang kurenungkan selama beberapa hari ini. "Aku tahu... tapi siapa yang bisa mencegah, maksudku... kita berdua di kamar ini, melakukan itu, dan semua tentunya mengalir begitu saja.” Aku tidak bisa membantu banyak, tetapi aku tetap berusaha untuk tersenyum.
Dhini menatapku dan balas menyeringai sejenak sebelum tiba-tiba tertunduk dan kembali ke tatapan seriusnya. Dia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa detik, kemudian menyatakan, "Aku merasa begitu bersalah... setiap kali bercinta dengan Dimas. Aku seperti telah mengkhianatinya karena sudah bercinta dengan penuh nafsu denganmu. Dan bahkan, selama Dimas menyetubuhiku, aku... ehm, bukan... kamulah yang sering kupikirkan. Dalam bayanganku, milikmulah yang sedang masuk ke dalam diriku. Ah, aku benar-benar nggak bisa menahan diri.”
Kalimat itu disampaikannya dengan tenang, tapi kata-kata 'dalam diriku' diucapkannya sedikit emosi, dan itu membuat nafsuku kian mencengkeram kuat. Untuk beberapa saat, aku ingin menyemburkan apa yang juga kualami; tentang bagaimana aku terus teringat pada tubuh mulusnya, juga lubang memeknya yang masih mungil dan sempit, dan setiap kali bercinta dengan Donna, itulah yang selalu kupikirkan.
Namun, yang kuucapkan malah cuma, "Aku juga. Aku juga kangen dengan tubuhmu." kataku sambil membuka tangan.
Dhini memandangku sejenak, dan kemudian dia berdiri dan berjalan ke arahku. Aku merangkulnya dengan gembira saat dia memutuskan untuk menjatuhkan diri ke dalam pelukanku. Bisa kurasakan tonjolan lezat payudara kecilnya yang mengintip di balik gaun, mendesak ringan di depan dada. Aku bisa mencium parfumnya lebih intens sekarang, juga kedekatan menggoda dari daging di bawah gaun tidurnya, dan penisku mulai merespon.
Kami berpandangan, matanya mengunci ke arah mataku seolah-olah menantang agar aku berbuat lebih jauh lagi. Sebagai tanggapan, tanganku membelai sesaat pinggangnya yang ramping dan kemudian meluncur ke bawah untuk menangkup kedua bulatan pantatnya yang terasa padat saat kuremas. Dihin memindahkan salah satu kakinya ke depan, memasukkan ke daerah pribadiku dan menggeliat.
"Sebelum kita memulai," kataku berani, "Aku ingin membuat beberapa aturan baru."
Alisnya sedikit terangkat, tapi dia cepat mengangguk, setuju ikut dalam permainanku. "Oh ya, aturan apa?"
"Pertama," aku berkata, bergeser lebih dekat dengannya hingga mulut kami hanya berjarak satu centi. "Dalam kamar ini, jangan ada rasa bersalah. Tapi perasaan itu bisa kita tunjukkan kalau kita berada di luar tempat ini." Aku memindahkan tangan kananku, menempatkan di lengan kirinya.
Ekspresi Dhini tidak terbaca, tapi anggukannya mengkonfirmasi keputusan yang sudah ia buat. Penuh tekad dia tersenyum dan berkata, "Setuju. Bolehkah aku membuat aturan nomor dua?"
"Ya, tentu," jawabku sedikit terkejut karena ia telah bergabung dengan permainan begitu cepat.
"Yang kedua, kita hanya memiliki hubungan di sini, di kamar tidur ini." Dia mengulangi apa yang Donna katakan bulan sebelumnya, tapi kemudian Dhini buru-buru menambahkan, "... tapi, kau bebas menyentuhku; di manapun, di bagian tubuh apapun.”
Dia beringsut lebih dekat saat mengucapkan kata-kata itu, sehingga tubuh kami kembali bersentuhan. Mulut kami saling menempel, dia mendongak dan aku menunduk, berusaha sekuat tenaga agar tidak lekas-lekas menarik lezatnya ke dalam mulutku.
"Setuju," bisikku sambil membelai leher dan rambutnya. Dhini merespon dengan mendengkur lirih seperti kucing, dan memutar kepalanya ke tanganku untuk menerima lebih banyak belaian.
"Apa aturan nomor tiga?” dia bertanya, menantang.
“Yang ketiga, kita akan melakukannya dengan cepat dan menyelesaikannya sesegera mungkin. Tapi usahakan tetap lebih dari satu jam.”
“Mmm... ide yang bagus. Mudah-mudahan pasangan kita nggak bosan menunggu.” jawabnya sambil tertawa. "Aturan ke empat... boleh aku menetapkan aturan ke empat?”
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
“Yang ke empat, kita akan berpakaian seminim yang kita bisa.” Sambil berkata, kedua tangannya meluncur ke ikat pinggangku dan dalam hitungan detik telah melepaskannya. Dia juga membuka ritsletingku, memberikan kebebasan kepada penisku yang sudah memberontak sedari tadi.
Dhini menatapnya dengan berani. “Besar, tepat seperti yang kuingat.” Dia memegang dan meremas-remasnya sebentar, membuatku melenguh saat berusaha melepas ikatan gaunnya.
Dengan gerakan sensual Dhini menanggalkan kain tipis yang ia pakai, menampakkan tubuh kurus tapi indah yang sungguh luar biasa. Di bawah gaun,  dia mengenakan beha mungil yang nyaris tidak menutupi payudara kecilnya. Perutnya masih nampak kencang dan ramping, tapi pinggulnya lebar dan bokongnya juga terlihat bulat, disangga oleh sepasang kaki panjang yang terlihat lincah dan padat.
Aku menatap tubuhnya seperti orang kelaparan, menikmati lekuk indah serta kekencangan kulit payudaranya yang membengkak lembut. Saat Dhini melepas celana dalamnya, sebentuk segitiga hitam gelap muncul diantara kedua kakinya. Jembut itu tidak tebal, tercukur rapi menghiasi gundukan daging yang aku tahu masih sangat sempit. Tubuh yang sangat sempurna, aku bisa melihat bahwa Dhini merasa gembira melihat reaksiku.
Lekas kutarik kaosku ke atas kepala agar aku bisa sama-sama telanjang. Tubuh kami semakin mendekat dengan nafsu menggelora, hanya menunggu waktu untuk meledak dahsyat.
"Aturan ke lima," aku berbisik. "Tidak ada pembicaraan intim dan saling merayu... tapi kamu boleh berteriak keras-keras selama kita bercinta, juga ketika aku melepaskan sperma ke dalam dirimu."
Dhini mengangguk dan memindah tangannya ke dadaku, menumpukannya di sana ringan sebelum meluncur turun menuju perut. "Aturan 6," tambahnya. "Tidak ada sentuhan intim, contohnya seperti ini,"
Dengan itu, dia mencondongkan tubuh ke depan dan secara bertahap kepalanya bersandar ke dadaku, sambil tangan kirinya meraih lembut di sekitar penisku. Dia memutar tangan sehingga telapaknya mulai terasa membelai, dan kemudian dia mulai mengocokku perlahan-lahan.
“Yah, aku setuju.”  Aku menjawab dengan menggerakkan tangan ke atas, mencapai di bawah salah satu beha dan meremas gemas payudara kecil Dhini yang terlihat menyenangkan. Untuk pertama kali, seluruh telapak tanganku bisa melingkupinya, merasakan betapa keras dan kuatnya tonjolan puting yang menekan di antara jari-jariku.
"Aturan ke tujuh," Dhini berkata serak, sementara tangannya terus meremas-remas penisku.
"Kita sudah terlalu banyak aturan.” jawabku sambil mengangkat dagunya dan mulut kami langsung saling menemukan satu sama lain, kulumat dia dalam ciuman lembut yang mengejutkan dan tak terkendali.
 
 
"Ehgh...” Dhini mengerang ketika ciumanku turun dari mulutnya, lalu mengalir ke dagu, leher samping kanan dan bahunya, dan terus turun sampai berakhir di tonjolan buah dadanya.
Aku mendorong cup beha yang masih menutupi dengan tanganku, menikmati tonjolan milik Dhini yang kecil mungil namun terlihat sangat padat. Mulutku memagut ke sana, menggelitik putingnya dengan bibir dan lidahku, dan kudengar Dhini berbisik, "A-aturan ketujuh... mari kita lupakan seluruh aturan itu."
Aku mengangguk dan dengan lembut membawanya ke tempat tidur. Dia telentang, sedangkan aku berbaring di atas perutnya. Kakinya terjuntai ke sisi kasur ketika aku mulai kembali menyusu, menghisap dan menjilati putingnya yang kanan, sementara tanganku bermain-main dengan payudaranya yang lain.
“Eghh,” jelas kudengar desahannya yang sedang berada dalam kenikmatan.
Terus kurangsang putingnya dengan lidahku, berpindah dari satu puting ke puting yang lainnya, sambil kuputar-putar telapak tanganku di bongkahannya yang terasa begitu empuk dan kenyal. Aku sebenarnya penggemar payudara besar seperti milik Donna, tapi payudara Dhini yang kecil dan mungil nyatanya juga bisa memuaskanku. Bahkan aku cenderung menyukainya karena bisa menelannya dalam satu gigitan besar, hal yang tak pernah bisa kulakukan terhadap milik Donna.
Dhini jelas sangat sensitif di puting, karena tubuhnya selalu menggeliat-geliat setiap kali aku mencucup di sana. Salah satu tangannya bahkan bergerak ke belakang untuk bermain-main dengan rambutku, dia menekannya lembut agar aku bisa menghisap lebih kuat lagi.
Kulingkarkan tangan di putingnya sekali lagi, lalu perlahan-lahan mulai bergeser ke bawah tubuhnya, menggoda berputar-putar di hulu hati, menunggu untuk melihat bagaimana ia akan merespon, sementara aku terus menjilat dan menghisapi puting yang lainnya. Aku merasa kaki Dhini bergeser menyebar terpisah, sebuah undangan yang cukup jelas bagi tanganku untuk mendapatkan akses lebih ke liang kemaluannya.
Aku menjawab dengan menggeser jariku turun, bisa kurasakan perut langsingnya yang kencang sempurna karena belum pernah hamil. Saat mencapai di antara kaki, dengan cepat bisa kutemukan klitorisnya dengan jari telunjukku.
"Ahhh..." bisik Dhini menanggapi ketika aku mulai melingkarkan jari di sana. Hanya sekali sentuh, aku sudah tahu bahwa benda itu sudah sangat basah. Klitoris itu juga berkedut-kedut kencang, sangat dihidupkan oleh gairah.
Aku mencondongkan badan untuk menempatkan mulutku pada puting susunya yang lain, sementara aku terus memanipulasi di liang vagina. Dari deru napas Dhini yang kian memburu, aku tahu bahwa rangsanganku sudah tepat.
“Begini?” aku bertanya, padahal sudah tahu jawabannya.
"Yaa..." jawabnya pendek.
Aku telah memutuskan akan menggunakan keterampilan jari-jariku untuk membawanya ke orgasme yang pertama, baru setelah itu akan kugeser penisku ke dalam dirinya setelah dia meledak setidaknya sekali.
"Tubuhmu langsing, seksi!" bisikku, sementara aku terus mencucupi putingnya dan meningkatkan kecepatan dalam menstimulasi klitorisnya.
"Aghhh..." Dhini merespon dengan membuka kaki lebar-lebar, memberi akses bagi tanganku agar meluncur lebih jauh lagi. "Ohh... yah, terus! Rasanya enak!"
"Bilang saja kamu ingin apa, pasti kuturuti.” bisikku menambahkan, sementara jari tengahku kini bergabung dengan jari telunjuk dalam menggesek klitorisnya. Bisa kurasakan kelembabannya meningkat seiring dengan tanganku yang terus menekan kuat.
"Ohhh... geli! Tapi enak!" keluh Dhini, dan aku tahu bahwa klimaksnya mulai terbangun.
"Tubuhmu nampak lezat, menggairahkan. Sudah lama aku ingin menyentuhnya,  seperti ini." Lidahku menjilati putingnya, dan jari-jariku tertekuk di klitorisnya, menggosok semakin cepat dan tegas.
"Uh-huh... ohhhh...” Dhini tak mampu berucap. Tangannya yang berada di leher dan rambutku menekan kuat, menarikku ke arah payudaranya. Dan dengan satu lengkingan terakhir, dia berteriak, "Ohhhhhhhhhhhhhhhh...."
Klimaks memancar, menyembur di sekitar jari-jariku. Punggungnya melengkung, bangkit dari tempat tidur, dan pinggulnya mencoba untuk menggiling sendiri ke dalam tanganku. Sesaat aku membebaskan mulut dari payudaranya, tapi kemudian lidahku turun lagi untuk menghisapi kedua putingnya sambil jari-jariku tidak lepas dari klitoris.
“Hhh... hhh... hhh...” Dhini melenguh menikmati orgasmenya, membuat penisku jadi sangat keras. Aku merasa tidak akan mampu menolak bercinta dengannya lebih lama lagi.
Namun tubuh Dhini masih terus bergoyang selama klimaks membawanya, sampai akhirnya ia menempatkan tangan halusnya di pergelangan tanganku dan memohon agar aku melepaskan klitorisnya. Kulakukan itu, bahkan aku juga memindah kepala dari tonjolan dadanya. Sebagai ganti, perlahan aku merayap ke depan sehingga wajahku hanya beberapa centi dari wajahnya, dan posisi penisku berada tepat di pembukaan liang vagina.
Dhini menatapku dengan ekspresi penuh nafsu, sangat berbeda dengan tampilan gentar yang ia tunjukkan di depan suaminya tadi. "Ayo, setubuhi aku!” desaknya sambil menggesek-gesekkan pinggul, mengundang penisku agar segera meluncur ke kedalaman liang vaginanya.
Kali ini tidak ada tahap berhati-hati dan pelan, aku langsung menusukkan penisku ke dalam dirinya dengan satu gerakan mantap yang cepat. Aku tahu Dhini sudah lama menunggu, dan aku juga sudah tak sabar ingin segera memenuhinya. Begitu alat kelamin kami saling bertemu dan bertaut erat, aku bisa merasakan kompatibilitas yang begitu luar biasa; bagaikan alat kelamin kami diciptakan berpasangan dan dari jenis yang sama. Penisku begitu pas mengisi lubangnya, sementara vagina Dhini juga sangat sempurna menampung batangku.
"Ughh..." aku mengerang merasakan jepitannya yang sempit dan sesak, jauh melebihi sensasi vagina Donna yang sudah sering kugunakan. Dhini meletakkan tangan di pundakku ketika aku mulai menggerakkan pinggul perlahan.
“Santai saja, pelan-pelan. Kita nikmati sepuasnya.” bisiknya mesra.
Tidak ada keengganan dalam suaranya, tidak ada lagi kepura-puraan seperti di awal pertemuan tadi. Dhini sepenuhnya merespon, dia menyambur baik setiap tusukanku. Pinggulnya tidak berusaha menghindar apalagi menyingkir, bahkan ia bergerak seirama dengan pinggulku. Vaginanya dengan kuat mencengkeram, membelai dan mencekik hangat dengan teksturnya yang panas dan basah.
"Terus! Enak!" bisiknya terengah-engah.
Aku bersandar di bahunya dan kami berciuman selama beberapa detik, selama itu pula penisku terus bergerak menyetubuhinya, meluncur keluar masuk di dalam dirinya, menusuk-nusuk ke leher rahim, bergerak memutar mengisi setiap rongganya, menjangkau setiap daerah yang selama ini jarang terjamah. Sampai kaki Dhini pindah ke pinggangku dan tangannya meluncur ke pantat, mencoba untuk menarikku lebih jauh ke dalam tubuhnya.
"Tubuhmu enak, melampaui bayanganku." aku berkata jujur.
“Memangnya apa yang kau bayangkan?” tanya Dhini dengan vagina menetes oleh kelembaban, kantung telurku terasa basah saat menampar-nampar ke sana.
"Ahh... kukira tubuh seperti milik Donna itu yang enak. Nyatanya, tubuhmu yang kurus ini juga tak kalah.”
Dhini tersenyum. “Aku juga suka penismu. Sepertinya lebih panjang daripada milik Dimas.”
Aku tidak membutuhkan dorongan lagi. Dengan kekuatan dan gairah, aku meningkatkan hujaman ke dalam dirinya hingga membuat Dhini menggeliat-geliat kecil di bawah tubuhku. Suara desah napas kami yang sama-sama bernafsu terdengar keras mengisi ruangan, bercampur dengan suara berderit dari tempat tidur yang meningkahi bunyi kecipak merdu yang berasal dari tumbukan alat kelamin kami.
Sebuah persetubuhan yang sungguh sempurna; dua badan bersatu dalam gairah, saling mengisi dan menerima, sampai aku mendengus keras dan Dhini mulai mengerang di setiap doronganku. Terus aku menekan ke dalam dirinya, sementara dia mencengkeram batangku erat-erat.
Sambil melengkungkan punggungnya, Dhini menjerit terengah-engah, "Nnnnhh... ohhh... Ahhh...”
Itu terlalu merdu. Gairahku jadi terpancing dan meledak dari ujung penisku, spermaku yang kental tercurah ke dalam liang rahimnya dengan semprotan-semprotan yang begitu kencang dan kuat, mengisi dan menembaknya hingga kantung bolaku kosong.
Nuansa hangat serta sensasi kental yang menyelimuti membuat Dhini ikut terseret ke tepi, dan ia pun menyusul tak lama kemudian. Sekali lagi vaginanya bergetar ketika cairan cintanya menyembur keluar, memberi genggaman serta guyuran basah di sekitar penisku yang masih tertancap lembut.
Rasa fantastis beriak, membikin kami sama-sama melenguh puas. Mulut kami terkunci satu sama lain untuk mengungkapkan kesenangan yang kami rasakan saat itu, juga keinginan untuk terus bersatu. Ketika Dhini menggeser lidahnya, kubalas dengan memagut mulutnya tak kalah mesra.
"Mmmm..." dia mengerang. "Penuhi aku dengan spermamu. Berikan apa yang suamiku tidak bisa memberinya."
Kami terus berpelukan dan meremas satu sama lain, dengan penisku masih tetap menancap di liang vaginanya. Getaran halus yang dikirim oleh dinding-dinding memek Dhini membantuku untuk mempertahankan ereksinya. Kami berciuman lagi, lalu lagi, dan lagi.
"Kalau pun kamu nggak hamil. Minimal kita bisa sama-sama puas,” aku berbisik.
Dia menatapku sendu, menyadari arti dari kata-kataku. Tanpa perlu mengakui, memang itulah yang sedang kami rasakan sekarang. Setelah beberapa detik, dia berbisik, "Terima kasih sudah mau datang kemari."
Kemudian kami berciuman lagi, tangannya membelai punggung dan pantatku, mengetahui bahwa kami baru saja menghancurkan penghalang psikologis lain. Kini kami menjadi lebih dekat, jauh dari janji yang kami ucapkan pada pasangan masing-masing.
Sensasi belaian tangannya, juga lumatan mulut dan bibir vaginanya, membuat penisku mengeras kembali di dalam dirinya. Satu hal yang tampaknya juga disadari oleh Dhini. Dia menggeliat dan tersenyum padaku, terlihat menyukainya. Tanpa perlu mendesak, aku memintanya untuk berpindah ke sisi tempat tidur.
Dhini melakukannya tanpa ragu-ragu, bulatan nakal pantatnya dan juga celah basah liang vaginanya ditampilkannya kepadaku saat dia bergerak, berbalik untuk bersandar ke depan dan menempatkan tangannya di sisi tempat tidur. Badannya melengkung, saat kubelai perlahan pinggulnya. Aku mendorong, dan memenuhinya sekali lagi, masuk dari arah belakang. Kakunya penisku dan licinnya liang vagina miliknya membuatku mudah dalam melakukannya.
"Ohh... ohh... ohhh," Dhini mulai mengerang dengan segera, tubuhnya gemetar oleh setiap dorongan yang kubuat.
Aku mencengkeram pinggulnya, mengagumi betapa langsing dan rampingnya pinggang itu dibandingkan milik Donna. Kubelai juga bulatan payudaranya yang jatuh ke bawah saat aku terus menarik vagina indahnya ke arah penisku. Dhini memiliki tubuh yang fantastis, dan aku benar-benar menikmati pemandangan indah itu dari arah belakang. Kepalanya miring saat ia menerima dorongan, sehingga rambut hitam berkilaunya jatuh ke depan menutupi wajah.
“Hhh... ahh... ahhh,” Dhini menggeliat, terlihat cantik dan sangat erotis.
Di dalam hati, aku sungguh mencintai Donna. Tapi wanita kurus di depanku ini, wanita yang mengerang dan merintih di setiap hujaman penisku, telah mampu menggantikan istriku sebagai wadah utama pelampiasan nafsu dan keinginan.
"Oooh... rasanya aku pengen terus menyetubuhimu, Dhin. Lagi dan lagi, tanpa pernah berhenti,” aku berbisik, dengan tangan mencengkeram pinggulnya erat-erat.
"Aku juga,” dia menjawab. “Kontolmu enak, hgnn... terasa begitu kaku dan tegang saat mengisi tubuhku."
Kata-kata itu melecut melebihi rangsangan fisik apapun, dan aku merasa diriku semakin dekat dengan orgasme. Namun sekali lagi, Dhini mencapai puncaknya sebelum aku tiba. Dia menjerit dan terkejang-kejang oleh hempasan gelombang orgasme yang datang, seluruh tubuhnya bergetar dan vaginanya berdenyut kuat di sekitar penisku.
Aku tidak mampu untuk bertahan lebih lama lagi dengan banyaknya semburan hangat yang kuterima. Sambil ikut berteriak, untuk kedua kalinya malam itu, kusemprotkan spermaku masuk ke dalam dirinya, bergabung dengan cairan yang sudah ia keluarkan.
“Hhh... hh... hh...” Dhini jatuh menghadap ke depan, di sisi tempat tidur. Aku masih memeluknya dari belakang, menarik tubuhnya ke arah diriku. Kami berpelukan, dengan napas masih sama-sama berat dan tersengal-sengal.
Kami berbaring seperti itu selama beberapa menit. Kunikmati himpitan vaginanya yang sesekali masih berdenyut. Kuraba-raba kembali bulatan payudaranya, dan sambil memilin-milin putingnya, bisa kurasakan sebagian spermaku  merembes keluar, tapi tidak diragukan lagi lebih banyak yang tertinggal di dalam.
Dhini berbaring dengan wajah menghadap ke samping. Aku segera menciumi leher, menemaninya berbaring dalam sukacita fisik yang baru saja kami alami bersama. Sebagian dari diriku bertanya-tanya, sudah berapa lama aku berada di kamar ini? Apakah Donna mulai bertanya-tanya kenapa aku begitu lama?
Aku bisa tahu jawabannya dari Dhini yang menatapku sayu, tampak lelah dan mengantuk. Dalam keadaan yang sedikit melamun, dia berbisik, "Terima kasih,"
Aku mencium pipinya, berusaha mencari celah untuk memecahkan keintiman ini, tapi ternyata tidak menemukannya. Jantungku malah berdebar-debar, membayangkan masih ada tiga kali lagi kesempatan kalau Dhini ternyata belum bisa hamil sekarang.

Related Posts:

  • Kembar?? Aduh, jadi nyasar kan?! (Aku, Rana & Rani) 5PART V* * *Aku dan Rani masih mematung di posisi yang sama, dan aku yakin Rani pun sama kagetnya denganku mendengar suara dibalik pintu. Belum sempat aku berfikir, aku justru tambah dibuat panik sa… Read More
  • Muslihat Kakek Dewo 16Muslihat Kakek Dewo 16Pelan Dewo melangkah menuju kamarnya yang berada di belakang rumah Kyai Kholil, dan kemudian merebahkan diri di atas ranjang yang tidak seberapa besar. Malam itu dingin, tapi Dew… Read More
  • Duka Miranda: Pemerkosaan berujung Budak Sex 6Chapter 6Let's Play Party-----------------------------------------------------------------------------------------------Hari Senin adalah awal yang baru bagi tugas Miranda sebagai budak nafsu Rendy d… Read More
  • Ketika Iblis Menguasai 9Ketika Iblis Menguasai 9 Aida Dalam Cengkeraman Empat Lelaki Sementara itu, di saat hampir bersamaan ketika Ustad Mamat menggagahi Rani, di rumah pak Fikri juga tengah terjadi peristiwa yang sama… Read More
  • Kembar?? Aduh, jadi nyasar kan?! (Aku, Rana & Rani) 4PART IV* * *Jum'at Malam, Entah Pukul BerapaAku hampir bisa melupakan kejadian konyol sore tadi dengan cara menyibukkan diri menyiapkan desain pesanan langgananku, sampai saat ku lirik layar hp ku. … Read More
:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p